Kamis, 06 Januari 2011

KAMPUNG BAJAU


Pagi, pertengahan Desember silam di Dusun Bajo, Kecamatan Tanete Riatang, Kabupaten Watampone, Sulawesi Selatan. Perkampungan yang terletak sekitar 174 kilometer dari Makassar ini dihuni komunitas terbesar Suku Bajo.

Suku Bajo adalah Sub Etnis Suku Bugis yang berasal dari pesisir Watampone. Sebagaimana Suku Bugis lainnya, warga Bajo mayoritas sebagai nelayan dan sangat ulung mengarungi lautan.

Lantaran itu warga Bajo dapat ditemukan antara lain di Sulawesi Tenggara tepatnya di Kepulauan Wakatobi, Togean wilayah Sulawesi Tengah, Wori di Sulawesi Utara, dan Labuan Bajo di Nusatenggara Timur.

Warga Bajo di Watampone sebelumnya dikenal sebagai manusia yang menghuni rumah-rumah panggung di lepas pantai dan ini berlangsung selama dua generasi. Bila kini orang Bajo asli tinggal di daratan, penyebabnya adalah kebijakan pemerintah daerah setempat yang merelokasi mereka, empat tahun silam. Alasannya, keberadaan rumah panggung di kawasan lepas pantai merusak pemandangan dan menggangu pelayaran.


Untuk sementara waktu, sambil mencari lahan yang tepat, Pemda mengizinkan mereka membangun tempat tinggal tak jauh dari bibir pantai. Rencana ke depan, pemda akan membangun lahan yang ditempati mereka itu menjadi pusat perbelanjaan dan rekreasi.


Hidup di darat tak berarti tradisi selama hidup di lepas pantai, hilang. Mereka tetap menjalani kehidupan di rumah panggung yang dihuni secara bersama dan terdiri dari beberapa keluarga. Namun, sebagaimanan kehidupan nelayan pada umumnya, kehidupan sehari-hari warga Bajo pun tak pernah terbebas dari kemiskinan. Para nelayan hanya bisa menyekolahkan anaknya hingga tingkat sekolah dasar.


Berbeda dengan nelayan di daerah lain, warga Bajo mencari ikan secara berkelompok. Tujuannya agar bisa saling membantu jika menemui kesulitan selama di tengah laut. Bertahun-tahun, kelompok nelayan biasanya terdiri atas beberapa perahu yang disebut lepa-lepa. Namun kini, terdapat satu perahu utama berbentuk kapal motor. Selain sebagai penunjuk jalan kapal ini juga berfungsi sebagai penampungan sementara hasil tangkapan dalam kondisi darurat.


Mereka biasanya melego jangkar di lokasi yang diyakini banyak ikan. Jika sedang beruntung mendapatkan hasil tangkapan yang banyak mereka cukup melaut dari pagi hingga sore hari. Namun, sebaliknya kadang mereka harus berada di tengah laut dua atau tiga hari, hingga membawa hasil.


Hasil tangkapan biasanya ditampung di rumah seorang nelayan, sebelum dijual ke tempat pelelangan ikan keesokan harinya. Kelak, hasil penjualan tersebut akan dibagi-bagi. Pemilik kapal motor mendapat jatah 25 persen. Sisanya dibagi rata di antara awak kapal motor dan para nelayan yang menggunakan kapal tradisional.


Tak selamanya mereka melaut. Hari Jumat adalah saat mereka beristirahat. Waktu senggang itu mereka gunakan juga memeriksa kondisi perahu, seperti halnya yang dilakukan Siking. Ia bersama adiknya, selepas salat Jumat mengecek kondisi perahu sehingga laik pakai.


Genap empat tahun, Siking dan warga Bajo asli lainnya hidup di darat. Siking harus cepat-cepat mengecek kapalnya lantaran selepas Isya akan digelar pentas seni sederhana memperingati empat tahun mereka di darat. Siking, termasuk yang akan pentas dalam acara tersebut.


Selepas Isya, warga sudah berkumpul di sebuah tanah lapang di sudut perkampungan. Para nelayan yang akan pentas sudah beranjak dari rumah Siking. Mereka akan mementaskan tari Angaruek, satu di antara sejumlah kesenian tradisional Suku Bajo.


Iringan musik terus mengalun melatarbelakangi gerakan sederhana para penari. Tari Angaruek memang sebuah tari sederhana dan tak harus dibawakan seorang seniman. Kesederhanaan ini seperti mewujudkan kesahajaan orang Bajo, termasuk rasa pasrah mereka menerima kenyataan direlokasi ke daratan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar